PLUS-MINUS HAMIL DI USIA TUA
Benarkah hamil anak pertama tak boleh lebih dari usia 35 tahun? Apa saja bahayanya? Bagaimana peran pasangan dalam hal ini?
“Saya sering ditanya saudara dan kenalan, apa enggak
takut melahirkan di usia menjelang 40 tahun? Habis, mau bagaimana lagi?
Menikahnya juga baru ‘kemarin’. Ya, dijalani saja sambil terus berdoa
supaya selamat,” tutur seorang calon ibu berusia 37 tahun.
Memang, kebanyakan wanita diliputi kekhawatiran kala
kehamilan baru dialami setelah usia meninggi. Tapi jika itu yang terjadi
pada Anda, tak perlu cemas. Sekarang ini makin banyak wanita melahirkan
di atas usia 35 tahun. Bahkan, tak jarang melahirkan bayi pertama di
usia empat puluhan.
Menurut dr. Agustinus Gatot, Sp.OG, dari RS Mitra
Keluarga, siap-tidaknya seorang ibu yang hamil di usia tua, lebih karena
faktor si ibu sendiri. “Adakalanya justru ibu yang memulai kehamilan di
usia ini, jauh lebih mantap. Sebab, biasanya telah mempersiapkan
segalanya dengan matang sejak memulai pernikahan,” terang Gatot.
Sebaliknya, ibu yang tak siap mental, lebih disebabkan ia merasa tak
percaya diri menghadapi kehamilannya. “Ia merasa sudah tua sehingga
menganggap dirinya tak mampu.”
BERISIKO TINGGI
Dalam ilmu kedokteran, terang Gatot, usia reproduksi
sehat untuk hamil antara 25-30 tahun. Sehingga, dari segi kesehatan
reproduksi, sebetulnya risiko pertama dari usia ini adalah tak dapat
hamil karena telah berkurangnya kesuburan. Jadi, bila si wanita usianya
telah melewati usia reproduksi sehat untuk hamil ternyata kemudian
hamil, berarti risiko itu telah terlewati.
Hanya saja, seperti diakui Gatot, usia ini memang
tergolong berisiko tinggi dalam kehamilan. Yakni, melahirkan bayi dengan
sindroma down, yang berciri khas berbagai tingkat keterbelakangan
mental, ciri wajah tertentu, berkurangnya tonus otot, dan sebagainya.
“Risiko ini akan meningkat sesuai dengan usia ibu, yakni 6-8 per mil
untuk usia 35 sampai 39 tahun dan 10-15 per mil untuk usia di atas 40
tahun,” jelas Gatot.
Kelainan kromoson dan lainnya yang diperkirakan
karena sel telur sudah berusia lanjut, terkena radiasi, terpengaruh
obat-obatan, infeksi, dan sebagainya, diduga merupakan penyebab sindroma
down.
Untuk mencermati adanya sindroma ini, dapat dilakukan
pemeriksaan amniosentesis. Pada pemeriksaan ini cairan ketuban diambil
melalui alat semacam jarum yang dimasukkan melalui perut ibu. Bisa juga
dilakukan dengan cara kordosentesis. “Bedanya, jika amniosentesis
mengambil cairan ketuban, pada kordosentesis diambil sampel darah janin
dari tali pusat,” jelas Gatot.
Pemeriksaan itu sendiri bisa dilakukan setelah
kehamilan memasuki usia 16-20 minggu. Jika ditemukan kelainan, dokter
akan menyerahkan keputusan pada pasangan suami-istri. Apakah akan
meneruskan kehamilan atau menggugurkannya. “Pemeriksaan ini jarang
dilakukan mengingat biayanya yang masih cukup tinggi,” ujar Gatot.
Umumnya ibu memasrahkan segalanya pada Yang Kuasa.
Kecuali melahirkan bayi dengan sindroma down, makin
tinggi usia ibu main tinggi pula risiko untuk melahirkan. Hal ini dapat
berisiko bagi kesehatan ibu sendiri. Bahkan, risiko kematian pun
meningkat.
Ada beberapa hal yang perlu diwaspadai oleh ibu hamil
usia ini, seperti perdarahan postpartum (sesudah melahirkan),
hipertensi, dan eklampsia.
PERAWATAN TERBAIK
Kendati demikian, pada dasarnya menjalani kehamilan
pada usia di atas 35 tahun, tak berbeda dengan usia lain. Yang
terpenting dan pertama ialah kesiapan ibu menjalani kehamilan itu. Nah,
dengan perawatan pralahir yang baik, maka ibu hamil berisiko pun bisa
mengurangi risiko tersebut.
Apa saja perawatan pralahir itu? “Salah satunya tentu
dengan pemeriksaan rutin oleh dokter atau bidan,” ujar Gatot. Dengan
demikian, jika ada gangguan atau kelainan akan bisa segera diketahui dan
ditangani. Bahkan, menjelang kehamilan, calon ibu harus menyiapkan diri
dengan pemeriksaan untuk berbagai infeksi, seperti TORCH
(toksoplasmosis, rubella, citomegalovirus, dan sebagainya).
Juga amat perlu senantiasa menjaga menu makanan. “Ibu
harus melakukan diet yang baik. Artinya, mengkonsumi makanan cukup
gizi. Bukan cuma untuk si ibu, tapi juga demi si janin.” Dengan
menjalani diet, lanjut Gatot, si ibu sekaligus bisa mencapai berat badan
ideal (tak lebih dan tak kurang) sehingga ibu bisa terhindar dari
berbagai komplikasi seperti sakit gula, tekanan darah tinggi, varises,
wasir, berat lahir bayi yang rendah, atau kesulitan persalinan karena
ukuran bayi yang terlalu besar.
Selain itu, bergaya pola hidup sehat seperti menjauhi
rokok, alkohol, dan obat-obatan yang tak perlu, juga akan sangat
membantu. Dengan demikian risiko calon ibu menjadi berkurang dan si ibu
pun bisa menjalani kehamilan serta persalinan dengan lancar. Jadi, tak
ada yang perlu dikhawatirkan lagi.
Riesnawiati Soelaeman
Menghadapi Kehamilan Beresiko Tinggi
Kehamilan adalah proses normal untuk dialami, bukan
penyakit yang harus diobati. Tapi jika kehamilan Anda berisiko tinggi,
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pasangan suami-istri di mana
istri menghadapi kehamilan dengan risiko tinggi.
* Rasa Cemas
Anda berdua mungkin akan dipenuhi rasa cemas setelah
mengetahui risiko yang mungkin dialami. Yang lebih parah, Anda berdua
mungkin tak berharap terlalu banyak terhadap kondisi janin.
Tapi Anda berdua tak boleh larut dalam kecemasan.
Apalagi kehamilan yang disertai kecemasan sangat tak baik pengaruhnya
bagi si ibu maupun janin.
* Marah
Kemarahan juga kerap melanda wanita yang menjalani
kehamilan berisiko. Misalnya ketika harus bed rest, ia merasa dibelenggu
oleh aturan yang tak biasanya karena sebelumnya ia termasuk tipe wanita
enerjik. Jadi, aturan itu terasa begitu menyiksanya.
Tak perlu berkecil hati. Jalani saja dengan santai. Ingat, semua itu demi Anda dan janin di kandungan.
* Merasa Tertekan
Karena banyak anjuran dan larangan, si ibu akan
terus-menerus mengingatnya. Ia takut untuk berbuat sesuatu di luar itu.
Sehingga tiap kali akan berbuat sesuatu, selalu dimulai dengan
pertanyaan, “Bolehkah saya melakukan ini? Apakah ini tak akan bertambah
membahayakan bayi saya?”
Menghilangkan sama sekali rasa tertekan itu memang
agak mustahil. Berbagilah dengan pasangan, agar perasaan itu sedikit
berkurang.
* Merasa Bersalah
Di sisi lain, wanita dengan kehamilan berisiko tinggi
juga bisa merasa bersalah, karena ia tak bisa menjalani kehamilan
seperti kebanyakan wanita lain. Misalnya, dokter banyak memberi
obat-obatan, larangan, dan anjuran.
Ia merasa, dirinyalah yang menyebabkan semua itu.
Padahal, tentu saja bukan. Pasangannya pun akan diliputi rasa bersalah,
karena ia menganggap dirinya yang menyebabkan istrinya “menderita”.
Padahal, kenyataannya tidaklah demikian.
* Menganggap Diri Kurang
Seorang wanita yang tak memiliki kehamilan “normal”
juga bisa menganggap dirinya tak mampu atau kurang. Harus diingat, ada
banyak hal yang di luar kekuatan dan kemampuan kita. Tapi, percayalah,
jika kita menjalaninya dengan ikhlas, segalanya akan berjalan lancar.
Riesnawiati
Pengalaman Berharga
Lily, seorang karyawati bank swasta hamil untuk
pertama kalinya ketika usianya sudah memasuki 38 tahun. “Saya memang
menikah di usia yang sudah enggak muda lagi, 36 tahun,” akunya. Karena
itu, Lily dan suaminya sudah tahu bahwa mereka tergolong pasangan yang
“terlambat” untuk hamil.
“Tapi sebelum hamil, saya berkonsultasi dulu dengan
dokter,” tutur Lily. Ia pun melakukan pemeriksaan cukup lengkap,
termasuk TORCH. “Saya ingin menjalani kehamilan dengan tenang. Apalagi
saya sudah tahu bahwa kehamilan saya berisiko karena usia saya,”
lanjutnya. Bahkan, ia mengaku sampai melakukan pemeriksaan rutin ke
dokter tiap dua minggu sekali. “Sebetulnya, sih, dokter enggak meminta
demikian. Saya sendiri yang menginginkannya, agar bisa lebih yakin,”
terangnya.
Dalam menjalani kehamilannya, Lily merasa tak berbeda
seperti wanita lain yang kehamilannya tak berisiko. Misalnya, pada
trimester pertama, ia mengalami mual-mual hebat, yang lalu menghilang di
trimester kedua. “Cuma, saya sering kesemutan,” katanya.
Kendati demikian, ia tak mengurangi kegiatannya. Ia
tetap bekerja seperti biasa. Ia pun sangat menjaga mutu makanannya.
Hanya makanan terbaik buat janin di rahimnya yang boleh masuk ke
mulutnya. “Sampai-sampai saya diledekin teman-teman, tapi saya enggak
peduli. Pokoknya, yang boleh masuk ke mulut saya hanyalah makanan sehat
penuh gizi. Bahkan, saya sama sekali tidak makan makanan instan,”
tuturnya.
Ketika kehamilannya mencapai usia 17 minggu, dokter
menyarankannya untuk menjalani tes amniosentesis. “Saya berdiskusi cukup
lama tentang hal itu. Saya menimbang baik buruknya. Saya pun berdoa
memohon petunjuk,” katanya. Akhirnya, ia bersama suami memutuskan untuk
meneruskan kehamilan tanpa menjalani tes itu. “Saya pasrah pada Yang
Kuasa. Saya yakin kehamilan ini yang terbaik buat saya,” katanya lagi.
Hasilnya, memang sesuai harapan. Lily melahirkan
normal, seorang bayi laki-laki yang sehat dengan berat 3,45 kg dan
panjang 51 cm. “Cukup satu saja. Usia saya sekarang sudah di atas 40,”
katanya, mantap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar